Cari Blog Ini

Selasa, 23 Agustus 2011

IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD bin IMAM ALI AR-RIDHA AS.


Pada tanggal 10 Rajab tahun 195 Hijriah, Imam Muhammad Al-Jawad as dilahirkan. Ayah beliau adalah Imam Ali Ar-Ridha as. Dan ibu beliau bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah, istri Rasulullah saw.
Imam Muhammad as memiliki banyak gelar. Gelar yang paling masyhur adalah At-Taqi dan Al-Jawad.
Saudara perempuan Imam Ridha as, Hakimah mengisahkan, “Pada malam kelahiran Imam Al-Jawad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi istrinya. Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata, ‘Wahai saudariku, jangan engkau heran dengan peristiwa ini. Engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi.’”
Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlulbait as. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.
Nauf Ali menceritakan, “Ketika Imam Ali Ar-Ridha as melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, ‘Apakah Anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?’ Beliau berkata, ‘Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi.’”
Imam Ridha as berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, “Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku. Ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi imam setelahku.”
Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat, beliau mengatakan, “Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja’far (Imam Jawad). Usia seseorang tidak terlibat dalam urusan kenabian dan kepemimpinan (imamah).”
Imam kesembilan umat ini, Muhammad Al-Jawad as menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau berkata, “Ali bin Ja’far, paman Imam Jawad di Madinah, adalah seseorang yang memiliki pengaruh yang besar. Warga kota di sana menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi.
Suatu hari, Imam Muhammad Al-Jawad as memasuki masjid tersebut. Ali bin Ja’far yang sudah tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam as lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata, “Paman, duduklah!” Sang paman berkata kepadanya, “Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi kau masih berdiri?”
Ketika Ali bin Ja’far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata, “Anda adalah orang tua dan paman anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya?”
Ali bin Ja’far menjawab, “Diamlah, kedudukan Imamah (kepemimpinan Ilahi) merupakan sebuah kedudukan yang telah digariskan oleh Allah. Allah tidak memandang orang tua ini (Abu Ja’far—penj.) akan mampu mengemban Imamah atas umat. Namun, Dia Mahatahu bahwa anak ini layak dengan kedudukan itu. Maka itu, kalian harus mentaati perintahnya.”

Akhlak Imam Al-Jawad
Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Al-Jawad as masih berusia belia. Namun begitu, beliau sungguh memiliki kepribadian yang matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk menumpahkan rasa hormat di hadapannya.
Selang beberapa hari setelah Imam Ali Ar-Ridha wafat, Khalifah Ma’mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu. Melihat Ma’mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh, hanya seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.
Ma’mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia bertanya terheran-heran, “Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti anak-anak itu?”
Anak itu menjawab, “Jalan ini tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun sehingga aku harus takut padamu. Aku pikir engkau tidak akan mengganggu seseorang. Dan engkau tidak akan mengejar orang yang tak bersalah. Maka itu, aku tidak lari darimu.”
Ma’mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan, dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, “Siapakah namamu?”
“Muhammad bin Ali Ar-Ridha”, jawab anak itu.
Ma’mun segera mengungkapkan duka cita atas kewafatan ayahnya. Setelah itu, ia melanjutkan pemburuan bersama para pengawalnya.
Surat Sang Ayah
Imam Ali Ar-Ridha as senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya. Al-Bazanthi berkata, “Suatu hari, Imam Ridha as menulis surat kepada putranya, Muhammad Al-Jawad, di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
Wahai putraku, aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak memperkenankan orang orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.
Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini, aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi, bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu.
Pikirkanlah orang-orang yang mendapat kesulitan hidup dan bantulah mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan.”
Keluasan Ilmu Imam Al-Jawad
Setelah berhasil meracun Imam Ali Ar-Ridha as, Ma’mun berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian beliau adalah sebuah kejadian yang wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang ‘Alawiyun (keturunan Imam Ali as) dan kaum Syi’ah.
Mereka mengetahui bahwa Ma’mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha. Oleh karena itu, beragam protes, kecaman, kerusuhan, dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma’mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia membawa putra Imam Ar-Ridha itu, Imam Muhammad Al-Jawad as dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul Fadhl.
Orang-orang Abbasiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma’mun itu. Namun, Ma’mun tetap bersikeras pada keputusannya. Mereka mendebatnya, “Dia (Imam Al-Jawad as.) itu masih kecil dan belum mengerti agama. Bersabarlah supaya ia belajar agama terlebih dahulu.”
Ma’mun tangkas menjawab, “Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya jika kalian mau.”
Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung, dan memintanya agar menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Muhammad Al-Jawad as di hadapan majelis resmi Ma’mun. Yahya mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma’mun dan menyampaikan kesediaan Yahya. Ma’mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan, dan para pejabat pemerintahan.
Kemudian, datanglah Imam Muhammad Al-Jawad as ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan beliau. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma’mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ma’mun berkata kepada Imam as, “Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.”
“Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan”, jawab Imam as.
Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka’bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?”
Imam Al-Jawad as. bersabda, “Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih begitu global. Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?

Pernikahan
Yahya kebingungan sekaligus kagum tatkala Imam as mengurai masalah itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbesit tanda kekalahan dan kegagalan. Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan kekaguman kepada Imam Al-Jawad as setelah menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmu beliau.
Akhirnya, Ma’mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan Imam Al-Jawad di majelis itu juga. Imam as bangkit lalu menyampaikan khutbah nikah. Mas kawin yang beliau berikan senilai mas kawin Siti Fatimah Az-Zahra as dan pesta pernikahan pun berlangsung sebegitu meriahnya.

Maksud di Balik Pernikahan
Sesungguhnya Ma’mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Al-Jawad as. Di antaranya:
a. Menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali Ar-Ridha as dan merebut kembali hati masyarakat.
b. Agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam Al-Jawad as sedekat mungkin.
c. Membujuk Imam as agar menetap di kota Baghdad yang kehidupannya dipenuhi oleh kemewahan dan kesenangan duniawi.

Kembali ke Madinah
Imam Muhammad Al-Jawad as telah mengambil keputusan bulat untuk segera kembali ke Madinah. Maksud tersebut beliau lakukan dengan cara berangkat ke Makkah dan menunaikan Haji di sana.
Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah ke kota Kufah. Di sana, Imam as singgah di sebuah masjid. Ketika waktu shalat telah tiba, Imam as berwudhu di halaman masjid di bawah pohon Nabk. Sungguh Allah SWT telah memberkahi pohon itu sehingga berbuah dengan buah-buah yang manis. Warga Baghdad senantiasa mengenang keberkahan Imam as pada pohon itu.
Beberapa Surat dan Masalah
• Ada seorang lelaki dari Bani Hanifah yang menyertai Imam Al-Jawad as dalam perjalanan hajinya. Saat duduk bersama di depan hidangan, ia berkata kepada Imam as, “Jiwaku adalah tebusanmu! Sesungguhnya wali kotaku adalah pecintamu Ahlulbait. Ia amat percaya padamu. Dan sekarang ini aku harus membayar pajak kepadanya. Bisakah kau menuliskan surat untuknya agar ia berbelas kasih kepadaku?”
Imam berkata, “Tapi, aku tidak mengenalnya.”
Lelaki itu membalas, “Dia sungguh pecintamu, dan suratmu akan dapat berguna bagiku.”
Lalu Imam as mengambil secarik kertas dan menulis, “Bismillahirrahmaninrrahim. Pembawa suratku ini adalah seorang lelaki yang telah mengenalkanmu sebagai manusia mulia. Dan tidak ada perbuatan yang berguna bagimu kecuali kebaikan yang terdapat di dalamnya. Maka, berbuatbaiklah kepada saudara-saudaramu!”
Lelaki itu menyerahkan surat tersebut kepada wali kota Naisyabur. Ia menyambutnya, bahkan menciumnya dan melekatkannya di kedua matanya. Lalu berkata kepada lelaki, “Apa keperluanmu?”
“Ada pajakmu yang aku tanggung”, begitu keluhnya. Mendengar itu, wali kota memerintahkan agar kewajiban pajaknya dihapuskan, dan mengatakan, “Kau tidak usah membayar pajak selagi kau hidup.”
• Datang sepucuk surat kepada Imam Al-Jawad as dari seorang lelaki yang hendak bermusyawarah dengan beliau berkenaan dengan pernikahan anak-anak perempuannya.
Imam as menulis balasan untuknya, “Aku telah mengerti apa-apa yang kau paparkan mengenai anak-anak perempuanmu, dan bahwasanya kau tidak menemukan lelaki yang mirip denganmu. Namun, janganlah terlalu menantikan demikian itu. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya, karena Rasulullah saw telah bersabda, ‘Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Bila kamu tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar.’”

Nasib Ma’mun
Warga Mesir bangkit melakukan pemberontakan. Segera Khalifah Ma’mun mempimpin pasukan besar dan memadamkan api pemberontakan itu. Dari sana, ia bertolak ke kawasan Romawi. Maka, terjadilah peperangan yang dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin.
Dalam perjalanannya kembali dari peperangan, Ma’mun melewati “Riqqah”. Tempat itu terasa sejuk dan tenang dengan mata air yang mengalir. Maka, ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di sana.
Di Riqqah, Ma’mun jatuh sakit. Tak lama kemudian, ia mati dan dikuburkan di tempat itu juga.

Kesyahidan Imam Al-Jawad
Setelah kematian Ma’mun, saudaranya yang bernama Mu’tashim menduduki kekhalifahan. Dia dikenal sebagai orang yang kejam, jahat, dan berperangai buruk.
Pertama yang dilakukan Mu’tashim ialah memanggil Imam Al-Jawad as dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah dia merencanakan persengkongkolan dengan Ja’far, anak Ma’mun. Dia mendesak Ja’far agar membujuk saudara perempuannya, Ummu Fadhl supaya meracun suaminya sendiri, Imam Al-Jawad as.
Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas di dalam anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah membunuh Imam Ali Ar-Ridha as dengan cara yang sama.
Demikian kesyahidan Imam Muhammad Al-Jawad as. Hal itu terjadi pada hari Selasa, 6 Dzulhijjah 220 H, pada usianya yang masih muda, 25 tahun. Jasad beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (kota Kazhimain sekarang) di samping makam datuknya, Imam Musa Al-Kazhim as. Pusara kedua Imam ini merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.[]

Mutiara Hadis Imam Al-Jawad
• “Kehormatan seorang mukmin ialah ketakbergantungannya pada orang lain.”
• “Seorang mukmin senantiasa membutuhkan tiga perkara: taufik dari Allah, penasehat dari dalam dirinya, dan menyambut setiap orang yang menasehatinya.”
• “Hari Keadilan itu lebih mengerikan bagi orang zalim daripada hari perlakuan zalim terhadap orang teraniaya.”
• “Neraca kesempurnaan harga diri seseorang ialah meninggalkan apa saja yang tidak membuat dirinya indah.”
• “Kematian manusia karena dosa-dosanya itu lebih banyak ketimbang kematiannya karena ajalnya, dan seseorang hidup karena kebajikannya itu lebih banyak daripada ia hidup dengan (takdir) umurnya.”

Riwayat Singkat Imam Al-Jawad
Nama                         : Muhammad.
Gelar                         : Taqi dan Jawad.
Panggilan                  : Abu Ja’far
Ayah                         : Imam Ali Ar-Ridha as.
Ibu                            : Khaizran.
Kelahiran                 : Tahun 195 Hijriah.
Masa Imamah         : 17 Tahun.
Kesyahidan             : Tahun 220 H.
Makam                   : Kota Kazhimain, Irak.


*sumber al-shia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar