Cari Blog Ini

Selasa, 23 Agustus 2011

IMAM HUSAIN bin Ali AS


Imam Husain as dilahirkan pada 3 Sya’ban 4 Hijriah. Mendengar berita kelahirannya, Rasulullah saw sangat gembira. Beliau bergegas pergi ke rumah putrinya, Fatimah as untuk mengucapkan selamat atas kelahiran putranya itu.
Rasulullah saw membacakan azan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian menamai bayi mungil itu dengan nama Husain.
Pada hari ketujuh dari kelahirannya, Ali bin Abi Thalib membuat acara akikah untuk putranya dan membagikan daging kambing akikahnya kepada orang-orang fakir.
Rasulullah saw sangat mencintai cucunda Husain as. Setelah mendapatkan wahyu tentang apa yang akan terjadi pada cucunda ini di masa yang akan datang, beliau bersedih dan menangis atas kekejaman yang akan menimpanya.
Rasulullah saw bersabda, “Husain dariku dan aku dari Husain.” Dialah Imam putra Imam, dan sembilan dari keturunannya akan menjadi imam, dan imam terakhir dari mereka adalah Muhammad Al-Mahdi as. Dia akan muncul di akhir zaman, dan akan memenuhi alam semesta ini dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.

Imam Husain Semasa Ayahnya
Imam Husain as hidup dalam haribaan Rasulullah saw selama 6 tahun. Selama itu, beliau banyak belajar dari akhlak sang datuk yang mulia.
Ketika Rasulullah saw wafat, beliau menjalani kehidupannya bersama ayahnya, Ali as selama 30 tahun. Beliau senantiasa berada di sampingnya dan turut merasakan penderitaannya.
Tatkala Imam Ali as memegang tampuk pemerintahan, Imam Husain as ikut serta mengambil bagian dalam pasukan yang tulus berkorban dan berjihad demi menegakkan panji kebenaran. Ia senantiasa turun dalam berbagai medan peperangan, seperti perang Jamal, perang Shiffin, dan perang Nahrawan.
Dan ketika ayahnya gugur sebagai syahid, Imam Husain as membaiat sang kakak, Hasan as sebagai khalifah, dan mendampingi beliau dalam menghadapi Mu‘awiyah.
Imam Husain as Semasa Mu‘awiyah
Mu‘awiyah meracuni Imam Hasan as, sehingga beliau gugur senasib ayahnya sebagai syahid. Kemudian, tongkat kepemimpinan umat segera dipegang oleh Imam Husain as yang saat itu berusia 46 tahun.
Imam Husain as telah mengetahui bahwa Mu‘awiyah adalah sumber penderitaan umat Islam. Di balik slogan-slogan Islami yang diangkatnya, sesungguhnya dia menghendaki kehancuran agama dan berusaha keras untuk menjauhkan penduduk Syam dari kebenaran-kebenaran Islam dan dari para sahabat Nabi yang ikhlas.
Mu‘awiyah senantiasa menebarkan kebohongan-kebohongan yang bertujuan merusak nama baik Ahlulbait Nabi as. Dia membunuh setiap orang yang menentang pemerintahannya. Dia telah banyak melakukan pembunuhan terhadap sahabat-sahabat Nabi dan sahabat-sahabat setia Imam Ali as. Di antara mereka adalah Hujr bin ‘Ady yang telah dibunuhnya bersama anaknya di daerah Maraj Azra, di luar kota Damaskus.
Mu‘awiyah selalu berupaya mengangkat anaknya, Yazid untuk menduduki kursi kekhalifahan. Padahal ia tahu benar akan perangai bejat Yazid, pemuda yang menghina agama dan mukminin. Dialah seorang pemabuk dan banyak menghabiskan waktunya untuk bermain-main dengan kera-kera.
Imam Husain as memperingatkan Mu‘awiyah akan bahaya yang dia lakukan. Akan tetapi, ayah Yazid itu tidak menghiraukan ucapan siapa pun, dan dia malah mengumumkan niatnya untuk membaiat Yazid.
Dan demikianlah yang terjadi. Mu‘awiyah membaiat si anak menjadi khalifah dan memaksa orang-orang untuk melakukan hal yang sama.

Imam Husain as dan Yazid
Sepeninggal Mu‘awiyah, Yazid menduduki kepemimpinan umat. Pertama yang ia lakukan ialah mengirimkan surat kepada Walid, gubernur Madinah yang berisi perintah untuk mengambil baiat dari Imam Husain as. Dengan surat di tangan, Walid mendatangi beliau dan memaparkan ihwal perintah Yazid di hadapannya.
Imam Husain as telah mengetahui di balik semua itu; Yazid akan mengumumkan bahwa Husain cucu Rasulullah saw telah memberikan baiat kepadanya. Ini akan berarti bahwa kekhalifahan Yazid sudah benar-benar sah. Oleh karena itu, Imam as menolak untuk membaiat seorang fasik seperti Yazid yang hobinya minum khamar dan menginjak-injak hukum Allah SWT.
Menyaksikan penolakan Imam Husain tersebut, Walid mengancam akan membunuhnya bila beliau ternyata menolak baiat kepada Yazid. Namun demikian, Imam as tidak memperdulikan sesuatu pun kecuali demi kemaslahatan Islam, kendati harus mengorbankan nyawanya yang suci.

Undangan Warga Kufah
Kaum muslimin merasakan kegelisahan yang dalam terhadap kezaliman Mu‘awiyah. Mereka mendambakan pemerintahan adil sebagaimana pernah dijalankan oleh Ali bin Abi Thalib dapat kembali berkuasa.
Maka, tatkala warga Kufah mendengar penolakan Imam Husain as terhadap baiat kepada Yazid, mereka mengirimkan surat yang begitu banyaknya kepada beliau, dan mengundang beliau untuk segera datang ke Kufah serta menyelamatkan mereka dari kezaliman Bani Umayyah.
Jumlah surat warga Kufah yang diterima oleh Imam Husain as sebanyak enam belas ribu pucuk. Semua isi surat itu menyatakan desakan mereka kepada beliau, “Datanglah wahai putra Rasulullah saw. Sungguh kami tidak memiliki pemimpin selainmu.”

Duta Imam Husain as
Imam Husain as mengutus anak pamannya, Muslim bin Aqil sebagai duta beliau untuk menjumpai orang-orang Kufah. Melalui tangannyalah beliau mengirimkan surat untuk warga Kufah. Isi surat itu ialah sebagai berikut, “Telah sampai kepadaku surat-surat kalian, dan aku mengerti apa yang kalian nyatakan sebagai ketulusan kalian terhadap kehadiranku di tengah-tengah kalian, dan aku telah mengirimkan seorang utusan kepada kalian. Ia adalah saudaraku, anak pamanku, dan orang tepercaya dari keluargaku, Muslim bin Aqil.”
Sesampainya di Kufah, Muslim mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat di sana. Di hadapannya, lebih dari delapan belas ribu orang menyatakan kesediaan untuk membaiat Imam Husain as.
Kemudian, Muslim melayangkan surat kepada Imam as dan mengabarkan, bahwa penduduk Kufah telah berkumpul dan siap membela kebenaran, serta menolak baiat kepada Yazid. Di dalam surat itu pula ia meminta beliau agar datang ke Kufah secepat mungkin.

Muslim Dibunuh
Sementara itu, Yazid mengawasi apa yang sedang berlangsung di Kufah dengan ketat. Untuk itu, dia telah menentukan seorang gubernur baru untuk kota Kufah yang bernama Ubaidillah ibnu Ziyâd. Ia telah sampai ke Kufah dengan cepat.
Ibnu Ziyad memulai tindakannya di sana dengan melakukan teror, pembunuhan, dan suap. Kemudian berlanjut dengan menakut-nakuti warga kota akan datangnya pasukan dari Syam dalam jumlah yang sangat besar.
Warga Kufah merasa takut dan perlahan-lahan mulai meninggalkan Muslim bin Aqil, hingga ia bertahan sendirian di tengah kepungan pasukan Ibnu Ziyad. Meski begitu, ia tidak mau menyerah dan mengadakan perlawanan seorang diri sampai terluka parah.
Kemudian ia ditangkap dan diseret sebagai tahanan sebelum akhirnya mati syahid di tangan musuh.
Berita dibunuhnya Muslim bin Aqil dan sebagian pembelanya di Kufah telah sampai kepada Imam Husain as. Saat itu beliau dalam perjalanan menuju Kufah. Beliau telah mengetahui bahwa warga kota telah mengkhianatinya.
Kepada para sahabat dan orang-orang yang bergabung bersamanya, beliau mengatakan, “Barang siapa yang ikut bersama kami, maka ia akan mati syahid, dan barang siapa yang berpaling dari kami, sungguh dia tidak akan mencapai kemenangan.”
Imam as sadar sepenuhnya akan jalan yang tengah ditempuhnya. Beliau hanya berpikir akan kewajiban dan tugasnya terhadap Islam dan kaum muslimin.

Tujuan Imam Husain as
Imam Husain as mengumumkan penolakannya membaiat Yazid, karena memang dia sama sekali tidak pantas menduduki kursi kekhalifahan. Dialah seorang yang fasik, peminum arak, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT, dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.
Oleh karena itu, dalam wasiatnya kepada saudaranya, Muhammad bin Hanafiyah, Imam as mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak bangkit untuk membuat kerusakan ataupun kezaliman. Aku hanya bangkit untuk memperbaiki keadaan umat kakekku saw. Aku ingin melakukan amar makruf dan nahi munkar. Aku akan menempuh jalan yang telah ditempuh oleh datukku, Nabi dan ayahku, Ali bin Abi Thalib.”
Imam Husain as mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh di padang Karbala bersama sahabat-sahabat dan keluarganya. Meski demikian, beliau tetap bangkit dalam rangka membangunkan umat Islam dari tidurnya, sehingga mereka tahu kenyataan Mu‘awiyah dan anaknya Yazid yang sebenar-benarnya, bahwa dua orang ini akan melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaannya, walaupun mereka harus membunuh cucu Nabi saw dan menjadikan perempuan-perempuan Ahlul Bait sebagai tawanan.

Imam Husain di Hari Asyura
Pasukan Yazid telah melakukan penghadangan terhadap laju gerak kafilah Imam Husain di sebuah tempat yang bernama Karbala, tidak jauh dari sungai Furat. Mereka mencegah anak-anak kecil dan perempuan-perempuan keluarga Nabi saw untuk mendapatkan air sungai.
Hari ke-10 bulan Muharram, hari yang begitu panas membakar padang Karbala. Di sanalah Imam Husain as mengingatkan orang-orang akan akibat perbuatan yang mereka lakukan.
“Wahai sekalian manusia, kenalilah siapa aku ini! Kemudian kembalilah pada diri kalian masing-masing, dan hujatlah diri kalian itu.
“Sadarlah! Apakah dihalalkan bagi kalian untuk membunuhku dan menodai kehormatanku?
“Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, putra khalifahnya, putra dari putra pamannya, dan putra dari orang pertama yang beriman kepada Allah SWT dan yang membenarkan risalah rasulnya?
“Bukankah Hamzah penghulu para syuhada itu adalah pamanku?
“Bukankah Ja‘far At-Thayyar itu adalah pamanku?
“Tidakkah kalian mendengar kesaksian Rasulullah tentang aku dan kakakku, bahwa dua pemuda ini adalah penghulu para pemuda di surga?”
Warga Kufah sangat mengenal Imam Husain as dengan baik. Hanya saja mereka telah tertipu oleh setan, sehingga mereka mengutamakan kehidupan dunia yang hina bersama Yazid dan Ibnu Ziyad, serta begitu mudahnya meninggalkan Imam as sendirian.
Kepada Imam Husain, mereka mengatakan, “Baiatlah Yazid sebagaimana kami telah membaiatnya.”
Dengan tegas beliau membalas mereka, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan pernah mengulurkan tangan (baiat)-ku kepadanya sebagaimana orang-orang hina mengulurkannya. Aaku tidak akan pernah melarikan diri sebagaimana para budak yang ketakutan.”
Umar Ibnu Sa’d, komandan pasukan Yazid mengeluarkan perintah untuk segera menyerbu pasukan Imam as. Maka, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Lima puluh sahabat beliau berguguran sebagai syahid. Tinggallah beliau bersama sejumlah kecil sahabat dan keluarganya. Mereka semua mengajukan diri, satu persatu, untuk meraih kesyahidan dengan gagah berani, tanpa rasa takut sedikitpun. Karena, mereka yakin bahwa mereka akan mati syahid di jalan Allah dan menjelang surga.
Tatkala seluruh sahabat dan laki-laki keluarganya telah gugur, tinggallah Imam Husain seorang diri. Beliau segera turun ke medan pertempuran. Sebelum meninggalkan keluarga dan menyampaikan perpisahan kepada mereka, beliau meminta mereka untuk bersabar di jalan Allah SWT.
Imam as memacu kudanya dan maju mengoyak ribuan barisan musuh. Di tengah pertempuran yang tak seimbang itu, beliau akhirnya terhempas di atas kerikil-kerikil padang pasir Karbala dan gugur sebagai Sayidus Syuhada, Penghulu Para Syahid.
Merasa belum puas melihat Imam Husain tak bernyawa lagi, Ibnu Ziyad memerintahkan para pasukan berkudanya—yang telah menjual diri mereka dengan kehidupan dunia—untuk menginjak-injak dada beliau. Sepuluh pasukan berkuda melompat dan mulai merobek-robek dada suci itu dengan kaki-kaki kuda mereka.
Setelah itu, Ibnu Sa’d memerintahkan pasukannya untuk membakar kemah-kemah Imam as setelah mereka merampas isinya, lalu menyeret anak-anak dan kaum wanita sebagai tawanan sampai ke Kufah. Di antara mereka adalah Zainab, putri Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Ali Zainal Abidin, putra Imam as.
Zainab as dengan penuh ketegaran maju menghampiri tubuh saudaranya, Imam Husain as, lalu meletakkan kedua tangannya di atas jasad suci itu. Kemudian ia mengangkat kepalanya, menengadah ke atas langit sambil berkata dengan penuh khusyuk dan bangga, “Ya Allah, terimalah dari kami pengorbanan ini!”

Kenapa Kita Harus Mengenang Imam Husain?
Sesungguhnya Imam Husain as telah mempersembahkan segala yang beliau miliki hanya untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin. Beliau telah mengorbankan anak-anak, kaum wanita, dan sahabat-sahabatnya, bahkan dirinya sendiri di jalan Allah SWT.
Beliau mengajarkan kepada manusia tentang kebangkitan untuk menentang segala anea ragam kezaliman dan kerusakan. Beliau habiskan hari-hari akhirnya dengan membaca Al-Qur’an dan ibadah semata-mata karena Allah SWT, sehingga meski di tengah-tengah peperangan pun beliau meminta kepada musuh-musuhnya agar menghentikan peperangan dalam beberapa saat hanya untuk menunaikan salat. Imam as tetap menunaikan salat bersama sahabat-sahabatnya di bawah ribuan panah yang menghujani mereka.
Revolusi dan kebangkitan yang dilakukan Imam Husain as berada di jalan Allah SWT dan dalam rangka mempertahankan Islam. Oleh karena itu, umat Islam akan mengenang beliau selama-lamanya. Mereka mengenang duka-nestapa hari Asyura; hari yang telah menyaksikan penyembelihan biadab yang dilakukan Bani Umayyah terhadap cucunda Nabi dan sebaik-baik warisan hidup Islam.

Kisah Tauladan
Imam Husain as hidup selama 57 tahun. Beliau telah menghabiskan sepanjang usianya itu dengan berbuat baik dan berkhidmat untuk manusia. Beberapa kali beliau menunaikan haji ke Rumah Allah (Ka’bah) dengan berjalan kaki selama berhari-hari.
Pada suatu hari, Imam as berjalan melewati orang-orang miskin yang sedang membentangkan pakaian mereka dan beliau meletakkan potongan-potongan roti di atasnya, kemudian mereka memanggil beliau, “Kemarilah, wahai putra Rasulullah!”
Lantas, beliau duduk dan makan bersama mereka, kemudian membacakan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan takabbur.”
Selekas itu, Imam as berkata kepada mereka, “Aku telah menyambut undangan kalian, dan kini sambutlah undanganku ini!”
Mereka pun menjawab, “Baik, wahai putra Rasulullah”. Maka semua bergegas pergi bersama beliau ke rumah. Di sana beliau menghormati dan memuliakan mereka.
Ketika Imam Ali Zainal Abidin as hendak menguburkan sang ayah, orang-orang melihat bekas-bekas luka lama di punggung beliau. Mereka pun menanyakan hal itu kepadanya. Imam Zainal Abidin menjawab, “Bekas-bekas ini adalah akibat dari gesekan karung di atas punggungnya saat membawa makanan untuk dibagikan kepada wanita-wanita janda, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim.”

Hari Asyura
Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Dahulu kala, hari itu dianggap seperti layaknya hari-hari biasa yang tak ada seorang pun memperingatinya. Namun pada Muharram 61 H, tatkala Imam Husain as syahid tepat di hari itu, hari tersebut menjadi hari yang istimewa dan bersejarah, yang menyimpan peristiwa besar. Umat Islam memperingati Hari Asyura di mana-mana, untuk mengungkapkan bela-sungkawa dan menangis sedih atas musibah dan penderitaan yang menimpa para syuhada di Karbala.
Karbala saat itu adalah gurun sahara yang tidak satu orang pun tinggal di sana. Dengan berlalunya waktu, kini menjadi sebuah kota yang besar dan menjadi pusat keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Di Mesir, dinasti Fatimiyyah mengumumkan Hari Asyura sebagai hari berkabung nasional. Pada hari itu, pasar-pasar di sana libur dan orang-orang memilih berkumpul di makam Sayidah Zainab as untuk mengenang tragedi Karbala sambil bercucuran air mata.
Di zaman kita sekarang, pendiri negara Islam di Iran mengumumkan Hari Asyura sebagai hari libur resmi negara.
Begitu juga umat Islam di negara-negara lain, seperti Irak, India, Pakistan, dan negara-negara Islam lainnya. Mereka juga turut memperingati perjuangan Imam Husain as pada Hari Asyura itu.
Nyatanya, peringatan Asyura senantiasa menciptakan perubahan, dari tahun ke tahun. Di Iran, masyarakat menyambut perjuangan dan pengorbanan Imam Husain as hingga mampu melakukan revolusi besar dalam menumbangkan pemerintahan yang zalim dan menggantikannya dengan pemerintahan Islam.

Siapakah Yang Menang?
Sebagian orang beranggapan bahwa Imam Husain as telah menderita kekalahan dalam pertempurannya melawan pasukan Yazid bin Mu‘awiyah. Akan tetapi, tatkala kita cermati lembaran-lembaran sejarah, kita akan menyaksikan bahwa Imam Husainlah yang sesungguhnya menang atas musuh-musuhnya. Karena, tujuan-tujuan kebangkitan dan kesyahidan beliau senantiasa hidup di dalam sanubari setiap manusia.
Pernahkah kita bertanya, di mana Yazid sekarang? Di mana Ibnu Ziyad sekarang? Bahkan Mu‘awiyah sendiri, di manakah dia?
Ya, mereka semua telah pergi dan tidak ada yang mengenangnya. Kalau pun ada yang menyebut nama mereka, sebutan itu hanya berupa kutukan dan laknat atas kejahatan mereka.
Orang-orang pendengki selalu berupaya menghancurkan Imam Husain as. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki beliau abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, laknat di dunia dan neraka di akhirat merupakan nasib musuh-musuh beliau.
Demikianlah, tragedi Karbala sungguh telah menjadi pilar bagi kebangkitan, kebebasan, dan kemenangan darah di atas pedang.[]

Mutiara Hadits Imam Husain
• “Aku tidak melihat kematian melainkan kebahagiaan, sedang hidup bersama orang-orang zalim adalah kehinaan.”
• “Manusia telah menjadi budak dunia, sedangkan agama hanya pengakuan lisan belaka. Selagi agama memakmurkan kehidupannya, mereka akan memegangnya. Namun, bila mereka ditimpa musibah, betapa sedikitnya mereka yang teguh.”
• Kepada putranya Ali Zainal Abidin as, Imam Husain as berkata, “Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah.”
• “Sesungguhnya ada sebagian orang yang beribadah kepada Allah karena mengharap rahmat Allah, dan yang demikian itu adalah ibadah pedagang. Ada pula yang menyembah Allah karena takut akan siksa-Nya, dan yang demikian itu adalah ibadah para budak. Dan ada pula yang beribadah kepada Allah karena berterima kasih kepada-Nya, dan yang demikian itu adalah ibadah orang merdeka, dan inilah ibadah yang paling utama.”

Riwayat Singkat Imam Husain
Nama                           : Husain.
Gelar                           : Sayyidus Syuhada.
Panggilan                    : Aba Abdillah.
Ayah                           : Ali bin Abi Thalib.
Ibu                              : Fatimah Az-Zahra’.
Kelahiran                   : Madinah, 3 Sya’ban 4 H.
Masa Imamah           : 10 tahun.
Usia                            : 57 tahun.
Kesyahidan               : 10 Muharram 61 H.
Makam                      : Karbala, Irak.


sumber www.al-shia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar