Cari Blog Ini

Selasa, 23 Agustus 2011

IMAM HASAN AL-‘ASKARI bin IMAM ALI AL-HADI AS



Imam Hasan Al-‘Askari as adalah imam ke-11 dari 12 silsilah imam Ahlulbait. Beliau dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 232 Hijriah dan meninggal syahid di Samara tahun 260 H.
Ayah beliau ialah Imam Ali Al-Hadi as, sedangkan ibu beliau bernama Susan.
Beliau as menjadi imam (pemimpin umat) pada usia 22 tahun dan hidup pada masa yang penuh dengan kesulitan dan berbagai macam tipu daya. Setelah sang ayah wafat, Imam as hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya.
Pada masa Imam as, khalifah Abbasiyah Al-Mu’taz tewas di tangan orang-orang Turki. Lalu, mereka mengangkat Al-Muhtadi sebagai penggantinya, yang tak lama kemudian juga tewas dibunuh. Seteleh itu, khilafah Abbasiyah jatuh ke tangan Al-Mu’tamid.
Panggilan Imam Hasan as ialah Abu Muhammad. Orang-orang mengenalnya dengan berbagai julukan, seperti Al-Hadi, Az-Zaki, An-Naqi, dan Al-Khalish. Julukan beliau yang paling masyhur adalah Al-‘Askari, karena beliau as tinggal di sebuah tempat yang disebut Al-‘Askar. Selain itu, beliau juga dikenal dengan panggilan Ibn Ar-Ridha.
Ahmad bin Khaqan pernah mengenang baik Imam as, padahal ia termasuk pembenci Ahlulbait as. Katanya, “Aku tidak melihat di antara keluarga Alawiyyin (keturunan Imam Ali as) di Samara seperti Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali Al-Ridha as. Dan aku tidak menemukan orang sebanding dengannya dalam pengorbanan, kesederhanaan, kehormatan, keagungan, kemuliaan, dan kedermawanan.”
Dia juga mengatakan, “Seandainya khilafah ini lepas dari tangan-tangan Bani Abbasiyah, maka tidak ada yang layak menjadi khalifah di antara Bani Hasyim selain Hasan bin Ali as, karena kepribadiaannya yang luhur, akhlaknya yang mulia, dan pikirannya yang brilian.”
Tersebarnya kerusakan dan kebobrokan di dalam negeri serta pengaruh besar orang-orang Turki di kalangan para pejabat tinggi negara, semua itu menjadi penyebab munculnya pemberontakan masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah.
Sementara itu, orang-orang Alawiyah tidak tinggal diam. Mereka juga mengadakan pemberontakan di berbagai tempat.
Hasan bin Zaid Al-Alawi telah mengadakan pemberontakan di daerah Tabaristan dan berhasil menguasainya.
Begitu juga di Basrah, telah terjadi pemberontakan yang disebut dengan “Tsaurah Zanj” yang pemimpinnya mengaku sebagai salah satu keturunan Ahlulbait. Pemberontakan itu dilakukannya dengan sangat keji, hingga ia membunuh anak-anak dan para wanita. Kemudian Imam Hasan Al-‘Askari as mengumumkan kepada masyarakat luas, bahwa pemimpin pemberontakan “Tsaurah Zanj” itu bukanlah dari keturunan Ahlulbait as.
Imam Hasan Al-‘Askari as menghadapi situasi yang sangat sulit. Seringkali beliau dijebloskan ke dalam penjara. Para khalifah telah menugaskan penjaga-penjaga yang bengis untuk mengawasinya. Tapi dalam tempo yang singkat, banyak dari mereka yang malah terpengaruh oleh akhlak luhur Imam as, hingga mereka menemukan kembali suara fitrahnya yang bersih dan menjadi orang-orang yang saleh.
Suatu waktu, Imam Hasan as dijebloskan ke dalam kandang serigala. Tapi amat mengejutkan! Kawanan serigala itu tampak gembira dengan kehadiran beliau. Mereka memain-mainkan ekornya ke telapak kaki Imam as, dan terkadang mereka sentuhkan badannya dengan kaki beliau.
Seorang penganut agama Kristen pernah bertemu Imam Hasan Al-‘Askari as dan ia merasa bahwa Tuhan bersama beliau. Ia pun masuk Islam di hadapan Imam as. Tatkala ditanya alasan keislamannya, ia menjawab, “Aku melihat sifat-sifat Isa Al-Masih as tampak pada dirinya.”
Kebanyakan wasiat-wasiat Imam Hasan Al-‘Askari as berkisar pada masalah keadilan, kemuliaan, dan pengorbanan. Beliau senantiasa memperingatkan kaum muslimin akan kezaliman dan penindasan.

Keluasan Ilmu Imam
Mazhab Ahlulbait telah tersebar dengan pesat. Pada masa Imam Hasan Al-‘Askari as, berbagai gerakan ilmiah dan semangat ilmu pengetahuan bermunculan.
Imam Hasan as melakukan pengajaran di Kufah, Baghdad, dan Hijaz. Kota Qom merupakan salah satu kota yang masyhur sebagai pusat pengembangan ilmu agama. Ilmu beliau laksana samudera, di mana lebih dari 18000 sarjana yang menimba ilmu kepada beliau.
Orang dekat khalifah Abbasiyah Al-Mu’taz yang bernama Muhammad bin Mas’ud Asy-Syirazi menuturkan, “Hasan Al-‘Askari telah mencapai ketinggian ilmunya, hingga menjadikan Al-Kindi—guru Al-Farabi—membakar bukunya sendiri setelah beliau melihat dan mengoreksi kandungan-kandungannya yang tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam.”

Imam Hasan dan Seorang Pendeta
Suatu masa, kota Samarra pernah dilanda kekeringan. Khalifah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan shalat Istisqa’. Masyarakat menyambutnya dan keluar berbondong-bondong untuk melakukan shalat sampai tiga hari. Akan tetapi, kondisi kota tidak kunjung berubah.
Pada hari keempat, Jastliq pergi bersama para pengikutnya, para pendeta, dan orang-orang Kristen ke tengah padang sahara. Salah satu pendeta mengangkat tangannya sambil berdoa. Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan sangat lebat.
Melihat kejadian ini, orang-orang menjadi ragu atas kebenaran Islam, padahal ia adalah agama yang paling utama. Sebagian dari mereka berkata, “Sekiranya orang-orang Nasrani itu berada dalam kebatilan, niscaya Allah SWT tidak akan mengabulkan doa mereka.” Lantas sebagian muslimin berpikir untuk memeluk agama Nasrani.
Pada saat itu, Imam Hasan Al-‘Askari as ada dalam penjara. Pengawal khalifah mendatanginya dan berkata, “Temuilah umat kakekmu Muhammad saw, karena mereka telah meragukan agama Allah SWT.”
Pada kesempatan lain, Jastliq beserta para pendeta dan Imam Hasan as pergi ke tengah padang pasir. Imam as senantiasa mengawasi keadaan mereka dengan baik. Kemudian beliau melihat salah satu dari pendeta tersebut mengangkat tangannya yang kanan. Segera beliau memerintahkan sebagian budaknya untuk memegang tangan pendeta tadi dan melihat apa yang ada di telapaknya. Mereka pun lekas memegang tangan pendeta dan mereka melihat tulang hitam di antara jari-jarinya. Kemudian, Imam as mengambilnya lantas berkata pada pendeta tersebut, “Sekarang berdoalah untuk meminta hujan!”
Pendeta itu kembali mengangkat tangannya dan berdoa. Saat itu langit sudah mulai mendung. Tiba-tiba mendung menghilang dan berubah menjadi awan dan matahari yang mulai memancarkan sinarnya.
Khalifah bertanya pada Imam Hasan Al-‘Askari as tentang rahasia tulang tadi. Beliau menjawab, “Pendeta ini pernah melewati salah satu kuburan nabi-nabi terdahulu. Kemudian ia dapati tulang ini, dan hujan lebat akan turun dari langit seketika tulang itu disingkapkannya.”

Dakwah dan Pendidikan
Dikisahkan bahwa ada seorang pemuda keturunan Imam Ja’far Ash-Shadiq as tinggal di kota Qom. Ia suka minum khamer. Pada suatu hari, ia pergi ke rumah Ahmad bin Ishak Al-Asy’ari, seorang wakil Imam Hasan Al-‘Askari as. Namun, Ahmad tidak mengizinkan pemuda itu masuk, karena ia telah mengetahui akhlaknya. Pemuda itu kembali ke rumahnya dengan perasaan sedih atas perlakuannya itu.
Suatu saat, Ahmad bin Ishak hendak pergi menunaikan ibadah haji. Tatkala ia sampai di Madinah dan ingin berjumpa dengan Imam Hasan as, ia meminta izin untuk bisa masuk dan bertemu dengan beliau. Akan tetapi, Imam as tidak mengizinkannnya. Ia pun merasa sedih dan bersipuh di depan pintu sehingga Imam as mengizinkannya masuk.
Ahmad bin Ishak bertanya kepada Imam as tentang alasan beliau tidak mengizinkannnya masuk tadi. Imam as menjawab, “Sungguh aku telah memperlakukanmu sebagimana kamu telah memperlakukan anak pamanku. Aku melarangmu sebagaimana kamu melarangnya.”
Ahmad bin Ishak berkata, “Tuanku, sesungguhnya ia suka minum khamer. Aku menolaknya, karena itu aku bermaksud untuk mengingatkannnya agar bertaubat.”
Imam Hasan Al-‘Askari as menjawab, “Bila kau ingin memberikan pelajaran padanya, tidaklah demikian caranya.”
Kemudian Ahmad bin Ishak kembali ke Qom dan orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Tatkala pemuda itu menemuinya, ia pun bangun menyambutnya dan merangkulnya begitu hangat serta mendudukkannya di sampingnya.
Pemuda yang bernama Abul Hasan itu malah terheran-heran melihat perlakuan Ahmad kali ini. Kemudian ia bertanya tentang sebab penolakannya kemarin dan penyambutannya yang hangat terakhir ini. Maka, Ahmad menceritakan pengalamannya sewaktu hendak menjumpai Imam Hasan Al-‘Askari as di Madinah.
Usai cerita itu, Abul Hasan menundukkan kepalanya karena malu. Seketika itu ia bertekad untuk segera bertaubat. Sekembalinya ke rumah, ia pecahkan kendi-kendi khamer, dan senantiasa pergi ke masjid.

Dua Kisah Menarik
• Sewaktu Imam Hasan Al-‘Askari as berada dalam sebuah penjara yang dikepalai oleh Shaleh bin Washif, Khalifah Abbasiyah memerintahkan agar memperketat pengawasan dan penjagaannnya atas beliau. Shaleh mengeluhkan, “Apalagi yang harus aku lakukan, padahal aku telah menugaskan dua makhluk Allah yang paling untuk menjaganya. Tetapi mereka berdua justru menjadi tekun shalat dan beribadah.”
Kemudian ia memanggil kedua penjaga tersebut. Kepada mereka ia bertanya, “Apa yang kalian ketahui tentang laki-laki ini (Imam as)?”
Mereka berkata, “Apa yang harus kami katakan tentang seseorang yang senantiasa menghabiskan siangnya dengan berpuasa, dan melewatkan malamnya dengan bertahajud. Dia tidak berbicara dan bekerja selain ibadah.”
• Tatkala orang-orang Turki berhasil menciptakan pengaruh besar di dalam pemerintahan Abbasiyah dan mempermainkan khalifahnya, mereka membunuh setiap orang yang mereka curigai, bahkan mereka dapat menentukan khalifah yang mereka kehendaki.
Ketika Al-Mu’tamid menjadi khalifah, dia berbuat sewenang-wenang, karena dia sendiri tidak tahu berapa lama dia akan memerintah; 3 bulan ataukah lebih. Namun, ia mengetahui betul kedudukan Imam Hasan Al-‘Askari as di sisi Allah SWT.
Maka, pada suatu hari, Al-Mu’tamid menghadap Imam as dan memohon kepadanya supaya Allah 
memanjangkan umurnya. Imam as pun mendoakannya, sehingga ia pun tetap duduk sebagai khalifah selama lebih dari 20 tahun.

Orang Bijak dari Irak
Ishak Al-Kindi adalah seorang filsuf Irak yang telah menulis sebuah buku tentang pertentangan antar ayat-ayat Al-Qur’an. Salah seorang muridnya datang menghadap Imam Hasan Al-‘Askari as. Kepadanya beliau bertanya, “Adakah di antara kalian yang berani untuk mengkritik pendapat guru kalian, Al-Kindi tentang sanggahan dan keraguannya terhadap Al-Qur’an?”
Salah seorang muridnya mengatakan, “Aku tidak mampu menyanggahnya.”
Imam as berkata, “Katakan kepadanya, bahwa aku punya masalah dan aku ingin menanyakan sesuatu kepadanya. Yaitu, bila ada seorang yang membacakan Al-Qur’an di hadapanmu, apakah mungkin maksud ayat-ayat yang dibacanya itu berbeda dengan maksud yang kau dengar darinya? Dia pasti akan mengatakan, ‘Tentu, sangat mungkin itu, karena ia adalah seorang yang dapat memahami apa yang telah ia dengar.’
“Apabila ia menjawab seperti itu, katakan lagi padanya, ‘Bagaimana Anda bisa memastikan itu, padahal mungkin saja dia memahami maksud yang berbeda dengan yang kau pahami? Dengan begitu, maka kamu telah meletakkan maksud bukan pada tempat yang semestinya.’”
Si murid menyampaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada gurunya, Al-kindi. Selekas menyimak, ia meminta muridnya untuk mengulang pertanyaan. Sang murid pun mengulangnya.
Setelah itu, Al-Kindi malah menundukkan kepala sambil berpikir. Akhirnya ia sadar bahwa hal tersebut memang mungkin terjadi dalam bahasa dan bisa diterima oleh akal. Dengan kesadaran ini, pandangannya tentang Al-Qur’an tampak begitu lemah dan rapuh. Lalu, ia bangkit dan membakar bukunya tersebut.

Surat untuk Seorang Sahabat
Dalam rangka menasehati para sahabatnya, Imam Hasan Al-‘Askari as banyak menulis surat yang dikirimkan kepada mereka. Di antaranya, surat berikut ini yang dikirimkan kepada Ali bin Husain bin Babaweh Qumi, “Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Akibat baik bagi orang-orang yang bertakwa, surga bagi orang-orang yang mengesakannya, dan neraka bagi orang-orang yang mengingkarinya, serta tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang zalim.
“Tiada Tuhan selain Allah, Dialah sebaik-baik pencipta. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada sebaik-baik mahluk-Nya, Muhammad saw dan keluarganya yang suci.
“Kamu harus besabar dan menanti kedatangan Al-Mahdi, karena Rasulullah saw telah bersabda, ‘Amalan umatku yang paling utama adalah menanti kehadiran Al-Mahdi.’
“Syi’ah kami akan senantiasa dalam kesedihan hingga muncul anakku, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi, bahwa ia akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi oleh kezaliman.
“Bersabarlah wahai Syi’ahku! Ya Abul Hasan, sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah yang telah diwariskan untuk hambanya yang dikehendaki. Dan akibat yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.
“Salam atasmu dan seluruh Syi’ah kami. Semoga rahmat dan berkah Allah meliputimu dan Syi’ah kami. Akhirnya, semoga Allah SWT merahmati Muhammad dan keluarganya.”

Hari Kesyahidan
Ketika diboyong oleh sang ayah ke Samarra, Imam Hasan Al-‘Askari as baru berusia 4 tahun. Semenjak itu pula beliau selalu diawasi secara ketat oleh pemerintahan Abbasiyah.
Seringkali Imam as dijebloskan dalam penjara, sampai akhirnya beliau diracun dan meninggal syahid pada tanggal 8 Rabiul Awwal 260 H. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali Al-Hadi as, di kota Samarra.
Imam Hasan Al-‘Askari as senantiasa berada dalam pengawasan para penguasa, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw yang menguatkan, bahwa Al-Mahdi as adalah Imam ke-12 dan dia adalah anak dari Imam Hasan Al-‘Askari. Sebab itulah para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan. Akan tetapi, Imam Hasan Al-‘Askari as telah berhasil merahasiakn putranya itu, betapa pun sulitnya keadaan waktu itu.
Meski demikian, saudara Imam Hasan Al-‘Askari as yang bernama Ja’far Al-Kaddzab berusaha untuk menunggu kesempatan guna menyatakan dirinya sebagai imam setelah wafatnya beliau dengan dukungan orang-orang Bani Abbasiyah. Akan tetapi, Allah SWT menggagalkan seluruh makar dan muslihatnya itu.
Ketika Imam Mahdi as muncul secara tiba-tiba, yang saat itu beliau masih kecil, dan datang untuk menyalati jenazah ayahnya, banyak orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Dengan begitu, mereka mengimani kepemimpinannya. Mereka pun percaya bahwa dialah Imam Al-Mahdi ajf yang dinanti-nantikan.[]

Mutiara Hadis Imam Hasan Al-‘Askari
• “Tidak ada kemuliaan bagi orang yang meninggalkan kebenaran, dan tidak ada kehinaan bagi orang yang mengamalkannya.”
• “Dua perkara yang tidak ada sesuatu pun yang lebih unggul di atas keduanya: iman kepada Allah dan kawan yang bermanfaat.”
• “Keberanian seorang anak terhadap orang tuanya di masa kecil akan mendorongnya kepada kedurhakaan terhadapnya di saat dewasa.”
• “Bukan termasuk kebajikan menampakkan kegembiraan di hadapan seorang yang sedih.”
• “Cukup bagimu sebuah pelajaran yang menjauhkanmu dari segala yang tidak kau sukai dari orang lain.”
• “Seluruh keburukan telah terkumpul dalam satu rumah, dan kuncinya adalah dusta.”

Riwayat Singkat Imam Hasan Al-‘Askari
Nama              : Hasan.
Panggilan       : Abu Muhammad.
Gelar              : Al-‘Askari.
Ayah              : Imam Ali Al-Hadi as.
Ibu                 : Susan.
Kelahiran      : Madinah, 232 H.
Wafat            : 260 H.
Makam         : Samarra, Irak.


*sumber al-shia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar